Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tenggat waktu kenaikan tarif PPN menjadi 12% tinggal menghitung bulan lagi.
Pasalnya, mandat kenaikan tarif PPN ini harus dimulai pada awal 2025.Namun, sejumlah pihak, termasuk pengusaha dan wakil rakyat, menilai kebijakan ini berisiko menekan daya beli masyarakat.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani mengatakan data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60% ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
“Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif,” ujarnya dalam catatan Apindo, dikutip Rabu (14/8/2024).
Menurut Ajib, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Dia menambahkan perluanya ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik.
“Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5% membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” ujar Ajib.
Dia pun menyarankan solusi bagi pemerintah. Jalan tengahnya, pemerintah bisa melakukan dua kebijakan. Pertama, untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar 54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan 4,5 juta per bulan,” cetusnya.
Kedua, lanjutnya, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost, dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, misalnya sektor properti.
“Atau untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Tetapi, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan. Sehingga fiskal bisa tetap prudent,” tambahnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyebut bahwa wacana perubahan ketentuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.
“Dengan tarif PPN yang belum lama dinaikkan jadi 11 persen saja, daya beli masyarakat langsung anjlok, bagaimana jadinya jika tarif PPN dinaikkan kembali? Otomatis masyarakat akan menjadi korban,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu, dikutip dari situs DPR (14/8/2024).
Selanjutnya, Ecky menilai penyesuaian tarif PPN berpotensi mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga barang/jasa semakin mahal. Pada kelanjutannya akan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk.
“Para pelaku industri dari golongan ekonomi atas akan dengan mudah menaikan harga barangnya ketika tarif PPN bahan baku industrinya meningkat, pada akhirnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai konsumen yang akan menanggung secara langsung kenaikan tarif PPN,” kata Ecky.
Sejauh ini,Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan, masuk tidaknya keputusan kenaikan PPN dalam APBN tahun depan harus menunggu keputusan Presiden Joko Widodo, saat membacakan nota keuangan dan RUU APBN 2025.
“Jadi kita monitor saja catatan nota keuangan nanti. Nanti kita dengar saja nota keuangan,” tegas Airlangga.