
Prabowo Subianto telah mengucap sumpah/janji sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024. Ia pun sudah menunjuk Sjafrie Sjamsoeddin dan Sri Mulyani masing-masing sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan.
Dipertahankannya Sri Mulyani membuat sang menteri harus membereskan beberapa pekerjaan rumah terkait program pengadaan sistem senjata di Kementerian Pertahanan yang selama beberapa bulan terakhir mengalami kemacetan.
Terdapat 26 Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang menunggu perpanjangan dan 23 loan agreement yang menantikan penandatanganan atau menyelesaikan perundingan dengan lender yang harus ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan. Terdapat pula 27 program pengadaan yang menunggu kepastian tersedianya lender sebab skema pendanaan menggunakan Kredit Swasta Asing (KSA) alih-alih Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE).
Kementerian Pertahanan bersama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mempunyai pekerjaan rumah terkait dengan pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029. Sebagaimana MEF 2020-2024, salah satu kunci pembangunan kekuatan pertahanan di era kepresidenan Prabowo Subianto ialah akuisisi sistem senjata dengan skema Pinjaman Luar Negeri (PLN).
Terkait hal tersebut, ketiga kementerian akan mendiskusikan tentang kemampuan fiskal untuk mendukung pengadaan peralatan perang sehingga dapat diketahui berapa besaran alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan selama administrasi Presiden Prabowo Subianto.
Diharapkan pada triwulan pertama tahun depan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sudah menerbitkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan sehingga dapat diketahui kegiatan belanja apa saja yang menjadi prioritas pemerintah Indonesia hingga akhir dekade ini.
Salah satu kegiatan akuisisi sistem senjata yang diprediksi akan memerlukan anggaran cukup besar adalah pembelian F-15EX yang telah menjadi komitmen Prabowo Subianto sejak menjadi Menteri Pertahanan. Pengadaan jet tempur buatan Boeing tersebut selain untuk meningkatkan kemampuan tempur TNI Angkatan Udara, juga dimaksudkan guna menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan global.
Dalam waktu dekat, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan melakukan lawatan ke Amerika Serikat, di mana salah satu agenda adalah bertemu dengan Presiden Joe Biden di Gedung Putih. Kunjungan itu direncanakan akan dilaksanakan setelah pemilu Amerika Serikat dan merupakan bagian dari tur ke beberapa negara setelah resmi menjadi orang nomor satu di Indonesia.
TNI Angkatan Laut diperkirakan akan mendapatkan alokasi PLN untuk belanja kapal selam dan kapal fregat. Apabila Kementerian Pertahanan memutuskan pengadaan kapal selam baru sambil menunggu penyelesaian pembangunan kapal selam Scorpene Evolved, dapat dipastikan kapal selam tersebut baru akan diserahkan oleh penerima kontrak kepada Indonesia paling cepat enam tahun setelah kontrak efektif.
Masa pembangunan enam tahun berlandaskan pada asumsi bahwa galangan penerima kontrak tidak mempunyai order backlog dari pembeli lain, di samping mempunyai fasilitas produksi yang cukup untuk mengerjakan pesanan kapal selam secara simultan. Jika Kementerian Pertahanan memutuskan melakukan pembelian kapal selam bekas, tentu saja waktu penyerahan akan lebih cepat namun dengan konsekuensi masa pakai kapal selam tersebut tidak akan sampai 30 tahun.
Akuisisi kapal fregat merupakan program pengadaan yang diperkirakan akan menarik sejumlah galangan kapal untuk menawarkan solusi mereka. Pada MEF 2020-2024, Kementerian Pertahanan menandatangani kontrak pengadaan kapal fregat kelas Thaon Di Revel buatan Fincantieri senilai US$ 1,25 miliar, di mana kontrak kapal perang tersebut diharapkan memasuki tahap efektif pada tahun depan.
Dua fregat kelas Thaon Di Revel yang dibeli oleh Indonesia sebenarnya diperuntukkan bagi Angkatan Laut Italia, akan tetapi pemerintah Italia bersedia mengalihkan kapal perang tersebut kepada Indonesia. Galangan Italia diperkirakan akan kembali mengajukan fregat kelas Thaon Di Revel untuk memenuhi kebutuhan Indonesia pada periode 2025-2029 sesudah sukses memasok dua fregat kelas yang sama pada MEF 2020-2024.
Fincantieri diperkirakan akan bersaing dengan Naval Group yang akan menyodorkan fregat kelas Amiral Ronarc’h yang telah sukses diekspor ke Yunani. Fregat yang memiliki tonase 4.500 ton, panjang 123 meter dan lebar 18 meter merupakan kapal perang yang telah didigitalisasi sehingga tidak memerlukan jumlah awak yang banyak, di mana digitalisasi kapal perang adalah kecenderungan yang tidak dapat dihindari lagi saat ini.
Karena telah didigitalisasi, fregat yang dikenal juga sebagai Frégate de Défense et d’Intervention (FDI) sudah menerapkan keamanan siber untuk menjaga agar dua pusat data yang ada di kapal perang itu aman dari gangguan serangan siber. Kedua pusat data adalah bagian dari arsitektur digital kapal perang itu yang berbasis pada komputasi awan.
Sebagai bagian dari paket penawaran FDI, Naval Group akan bekerja sama dengan PT PAL Indonesia sebagaimana diindikasikan pada awal tahun ini. Rencana demikian merupakan bagian dari upaya memenangkan kontrak sebagaimana dalam program kapal selam kelas Scorpene.
Menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menyerap teknologi terhadap tawaran itu, di mana teknologi yang dimaksud bukan saja tentang konstruksi kapal perang, namun pula menyangkut integrasi subsistem, teknologi elektronika, keamanan siber dan lain sebagainya. Penting untuk diingat bahwa daya serap teknologi oleh firma-firma Indonesia dalam program akuisisi sistem senjata masih menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan.
Turki akan menjadi pesaing bagi Fincantieri dan Naval Group dengan menawarkan fregat kelas Istanbul kepada Indonesia. Dibandingkan dengan fregat buatan Italia maupun Prancis, fregat asal Turki selain memiliki dimensi yang lebih kecil juga belum didigitalisasi.
Dalam beberapa tahun terakhir Turki memang gencar menawarkan beragam sistem senjata ke Indonesia, di mana sebagian besar belum proven dan hanya menjadikan Indonesia sebagai first export customer. Sejak 2010 hingga saat ini, Indonesia telah merasakan dampak negatif status sebagai first export customer bagi beberapa mesin perang buatan negara lain, sebab status tersebut menjadikan Indonesia sebagai laboratorium lapangan bagi sistem senjata yang dibeli.
Perlu digarisbawahi pula bahwa pembiayaan pembelian kapal perang dari Turki akan menghadapi masalah di Kementerian Keuangan. Fakta menunjukkan bahwa inflasi Turki per bulan di atas 60 persen dengan tingkat resiko kredit Turki adalah Level B menurut Fitch Ratings, sehingga sulit bagi Kementerian Keuangan untuk mencari lender yang berbasiskan pada LPKE.
Kalau Kementerian Keuangan menggunakan skema KSA, maka terdapat risk premium yang harus ditanggung oleh Indonesia sehingga biaya utang menjadi lebih mahal daripada memakai skema LPKE. Selama ini Kementerian Keuangan sudah memberikan perhatian khusus terhadap impor sistem senjata dari Turki karena tidak ada lembaga keuangan Barat yang mau menjadi penjamin maupun lender.