Gegara Ini, IHSG Ambruk 1% Lebih & Balik Ke 7.200-an

Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk lebih dari 1% pada akhir perdagangan Kamis (14/11/2024), di tengah memburuknya kembali sentimen pasar global setelah data terbaru inflasi Amerika Serikat (AS) kembali memanas.

IHSG ditutup ambruk 1,29% ke posisi 7.214,56. IHSG kembali terkoreksi ke level psikologis 7.200 pada akhir perdagangan hari ini.

Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitar Rp 10,9 triliun dengan melibatkan 23,1 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 173 saham menguat, 431 saham melemah, dan 182 saham stagnan.

Terpantau hampir seluruh sektor berada di zona merah pada akhir perdagangan hari ini, kecuali sektor teknologi yang masih mampu bergairah yakni mencapai 1,27%. Adapun sektor properti menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 1,78%.

Sementara dari sisi saham, emiten energi baru terbarukan (EBT) Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 13,2 indeks poin.

Selain itu, ada emiten perbankan raksasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan emiten telekomunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang juga membebani IHSG masing-masing mencapai 11,6 dan 5,7 indeks poin.

IHSG kembali merana di tengah memanasnya kembali inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Oktober 2024, setelah dalam beberapa bulan terakhir melandai.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai.

Sedangkan IHK inti Negeri Paman Sam mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.

Secara bulanan, inflasi umum mencapai 0,2% pada Oktober 2024 atau sama dengan September. Demikian juga dengan inflasi inti bulanan.

Kondisi ini diperparah oleh hasil pemilu AS yang dimenangkan oleh Donald Trump. Kebijakan perdagangan proteksionis dan tarif tinggi yang diusung Trump dipandang akan memicu tekanan inflasi lebih tinggi karena meningkatnya biaya impor.

Bagi Indonesia, kenaikan inflasi ini menjadi alarm bahaya. Jika inflasi AS terus menanjak naik maka peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga secara agresif akan musnah. Kondisi ini bisa memicu capital outflow serta mengurangi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas BI rate.

Tak hanya itu saja, masih perkasanya dolar AS dan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS juga turut membebani IHSG, membuat investor asing terus mencatatkan penjualan bersih (net sell) hingga kemarin.

Indeks dolar AS (DXY) ditutup di posisi 106,505. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 1 November 2023 atau lebih dari setahun terakhir.

Lonjakan indeks dolar menandai jika investor tengah memburu dolar kembali dan meninggalkan instrumen berdenominasi non-dolar.

Kondisi ini diperparah dengan melesatnya imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melesat ke 4,43% pada perdagangan kemarin atau rekor tertinggi sejak 1 Juli 2024.

Dua kondisi di atas mencerminkan jika investor sudah berbondong-bondong ke pasar keuangan Negeri Paman Sam kembali sehingga instrumen investasi di negara berkembang seperti Indonesia ditinggal dan melemah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*