Cadangan Panas Bumi RI Melimpah Tapi Baru Dinikmati 10%, Ini Alasannya

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai Unit 2 di Muara Enim, Sumatera Selatan, milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) mulai dibangun. Pembangkit

Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) membeberkan, Indonesia memiliki cadangan panas bumi mencapai 24 Giga Watt (GW) atau 40% dari cadangan panas bumi di dunia. Namun sayangnya, sampai saat ini Indonesia baru memanfaatkan 10% dari jumlah cadangan yang ada.

Ketua API Julfi Hadi mengungkapkan, Indonesia sendiri merupakan negara yang dilingkari cincin api, sehingga Indonesia dikaruniai dengan cadangan panas bumi yang berlimpah.

“Indonesia adalah negara volcanic, negara gunung api. Karena itu Indonesia adalah negara geothermal. 40% dari reserve di dunia ada di Indonesia Sekitar 24 Giga Watt reserve ada di Indonesia. Tapi seperti pernyataan tadi, hanya 10% baru bisa dipakai,” jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, dikutip Senin (11/11/2024).

Lantas, apa alasan belum maksimalnya pemanfaatan panas bumi nasional? Menjawab pertanyaan tersebut, Julfi membeberkan bergam faktor. Pertama, perihal tarif listrik khususnya pada sumber energi baru terbarukan (EBT) yang dikembangkan oleh perusahaan swasta (IPP).

“Semua hubungannya commercial, bagaimana Perpres 2022 yang meng-guide tarif EBT itu. Kalau kita lihat dengan IPP, ini masih sub-commercial. Jadi kalau kita lihat return-nya atau IRR (internal rate of return) kira-kira segini ekspektasi IPP kira-kira di atas, ini gap tentunya harus diisi supaya bisa masuk ekspektasi,” kata Julfi.

Untuk faktor tersebut, Julfi menilai sumber energi panas bumi harus diturunkan tarifnya dengan cara menurunkan pengeluaran modal (capex) untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan meningkatkan produksi energi panas bumi melalui pengembangan sumber-sumber panas bumi yang ada di Indonesia.

“Pertama, jelas harus menurunkan capex untuk membangunnya (PLTP). Dari tadinya US$ 6-7 juta per Mega Watt (MW), harus turun kira-kira US$ 5 juta per MW. Jadi untuk menurunkan megawatt per US$ ini bukan capex saja. Kita harus meng-enhance juga produksi dengan teknologi,” bebernya.

Faktor kedua, belum banyaknya industri hilirisasi panas bumi di Indonesia. Julfi mengatakan hilirisasi panas bumi bisa meningkatkan pemanfaatan panas bumi di Indonesia.

“Jadi kalau hilirisasi industri downstream ini kita bangun. Bukan saja menurunkan, cuman investment akan masuk, Banyak, termasuk dari proyek-proyek IPP akan mulai mengembangkan juga hilirisasi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Julfi mengungkapkan faktor berikutnya adalah perihal insentif yang diberikan pemerintah untuk pengembangan panas bumi. Julfi menilai, jika pemerintah bisa memberikan insentif lebih menarik pada pengembangan panas bumi di Indonesia, bisa menarik berbagai IPP untuk masuk mengembangkan panas bumi nasional.

“Kalau pemerintah membantu ini (pemberian insentif), geothermal booming, investasi geothermal akan masuk, GDP akan naik, lapangan kerja akan naik, energy security, dan juga tentunya emission CO2 free. Jadi chicken and egg ini,” tandas Julfi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*