
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyampaikan penyaluran alokasi gas untuk industri pengguna Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU belum optimal.
Kepala BPH Migas, Erika Retnowati mengungkapkan bahwa penyaluran untuk program HGBT secara rata-rata persentasenya masih di bawah 80%.
“Kami juga menjumpai adanya penyaluran gas HGBT yang belum optimal. Jadi kalau secara rata-rata itu secara presentase masih di bawah 80% untuk penyerapan gas HGBT,” Ujar Erika dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, Senin (10/2/2025).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa industri dengan produk berorientasikan pada ekspor tidak akan mendapatkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Bahlil menyebut, pemerintah menetapkan harga gas “murah” untuk industri ini maksimal sebesar US$ 6,8 per MMBTU, sementara harga gas untuk sektor ketenagalistrikan maksimal US$ 7 per MMBTU.
“Untuk 2025 harga HGBT sudah diputuskan dalam Ratas (Rapat Kabinet Terbatas). Tren harga dunia lagi naik, maka harga untuk listrik itu maksimal US$ 7 per MMBTU. Sementara harga HGBT untuk bahan baku industri maksimal US$ 6,8 per MMBTU, tapi tidak berlaku untuk bahan baku untuk ekspor. Contoh Pupuk Kaltim dia kelola pupuk tapi orientasi ekspor, itu kita gak kasih HGBT,” jelas Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (03/02/2025).
Dia menjelaskan, kebijakan ini diambil karena HGBT berdampak pada potensi penerimaan negara yang hilang dari pengurangan penerimaan negara di hulu minyak dan gas bumi (migas). Namun, pemerintah berharap ini bisa mendorong nilai tambah industri.
“Karena HGBT itu, karena ada pendapatan negara yang harus diterima tapi tidak dipungut dalam rangka menciptakan nilai tambah,” ujarnya.
Bahlil menyebut, total potensi penerimaan negara yang hilang dari hulu migas karena kebijakan HGBT selama 2020-2024 ini mencapai Rp 87 triliun.