AS Sorot Wajib Sertifikasi Halal, Bos APINDO Ungkap Fakta Tak Terduga

Stiker Halal yang tertempel di pintu masuk salah satu restoran siap saji di Salemba, Jakarta, Jumat (15/3/2024). Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengejar target 10 juta produk bersertifikat halal pada 2024, sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen makanan dan minuman halal nomor satu dunia pada tahun yang sama. McDonalds Indonesia menjaadi restoran cepat saji pertama yang menerima sertifikat halal yang berlaku sepanjang masa dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pemberlakuan aturan wajib halal di Indonesia kini menjadi sorotan, usai pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyampaikan keluhan para pelaku industri AS terkait implementasi regulasi sertifikasi halal di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh USTR beberapa waktu lalu.

Mirisnya, pemberlakuan aturan wajib halal di Indonesia bukan hanya dinilai menghambat investor asing, tetapi juga bagi pelaku usaha dalam negeri. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani mengakui regulasi ini memang menghadirkan tantangan tersendiri bagi dunia usaha.

“Ya jadi untuk sertifikasi halal ini juga merupakan satu tantangan lah ya,” ujar Shinta saat ditemui usai acara Forum Bisnis Indonesia-Korea di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Ia menjelaskan, tantangan sertifikasi halal tidak hanya dirasakan oleh investor asing, seperti yang dikeluhkan AS dalam laporan tahunan USTR, tapi juga dirasakan oleh investor lokal.

“Jadi ini sebenarnya sudah banyak (keluhan), dan ini juga bukan hanya untuk investor luar tapi juga investor dalam negeri,” lanjutnya.

Shinta mengatakan, pihaknya selama ini terus bekerja sama dengan otoritas halal di Indonesia untuk mencari solusi memperlancar proses sertifikasi tersebut. Salah satu yang diupayakan adalah mendorong kerja sama pengakuan sertifikasi antarnegara atau mutual recognition agreement (MRA).

“Satu hal yang penting kalau dengan investor luar itu adalah mutual recognition agreement. Karena kalau punya mutual recognition dengan negara lain itu berarti yang diakui di Indonesia itu akan mempermudah daripada proses sertifikasi halal tersebut,” terang dia

“Itu yang kami usulkan, MRA dengan negara lain, Indonesia dengan negara lain, sehingga tidak perlu mengulang semua prosesnya kembali,” tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat melalui laporan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers memang menyoroti ketatnya regulasi halal di Indonesia. USTR menilai kebijakan sertifikasi halal yang diatur dalam Undang-Undang No 33 Tahun 2014 dan sejumlah peraturan turunannya, menjadi hambatan non-tarif baru yang memberatkan pelaku usaha asing, termasuk industri farmasi dan alat kesehatan dari AS.

Dalam laporan tersebut, disebutkan sertifikasi halal Indonesia mencakup seluruh rantai produksi, dari bahan baku, proses produksi, penyimpanan, pengemasan, hingga distribusi dan pemasaran. Ketentuan ini dianggap menambah biaya operasional dan memperlambat masuknya produk ke pasar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*